Powered By Blogger

Rabu, 16 Desember 2015

PESTA DOSA PILKADA KITA, MARI RAYAKAN TIPU-TIPU INI

Esok pagi, ya esok pagi. Bahkan mungkin saat ayam jantan belum menyelesaikan kokoknya. Bahkan saat fajar belum menyelesaikan gilirannya, tanah kita akan banjir dosa. Sekian juta orang akan secara berjamaah mendosa. Menjadikan malaikat pencatat dosa akan sangat sibuk saat itu. Menjadikan langit murka dan jengah pada manusia di bawahnya. Manusia-manusia yang dengan entengnya tidak merasa bersalah saat menjual suaranya dengan lembar rupiah. 
Esok pilkada serempak akan digelar. Esok pula dengan kompak sebagian besar calon akan menggelar serangan fajar rupiah berlembar-lembar. Konon nominalnya sekitar 50-100ribuan untuk satu suara. Sangat lumayan untuk orang yang penghasilan perhariannya hanya cukup untuk beli nasi bungkus di warteg. Esok kita akan menjadi pendosa bersama-sama. Si pemberi uang berdalih bahwa pemberian ini bukan money politics, justru ini adalah sedekah untuk mengganti waktu yang terbuang tidak bekerja demi mencoblos di bilik suara. Si penerima tidak merasa uang pemberian semacam ini haram hukumnya. Ia bepikir uang semacam ini sangat wajar dan sah-sah saja diterima. Uang ini adalah bentuk terima kasih dari calon kepala daerah pada simpatisannya. Uang yang sangat halal tentunya untuk diterima, begitu pikir mereka, terlebih lagi bila uang itu digunakan demi kepentingan keluarga, "Apa salahnya?"
Apa salahnya? dimana dosanya?
Entahlah bagaimana menjawab pertanyaan semacam itu pada masyarakat yang telah permisif dengan segala keburukan akhlak dan yang subhat. Sulit rasanya harus menjelaskan darimana. Dunia kita saat ini menjadikan sesuatu yang jelas berdasarkan syariah, dikabur-kaburkan, dibengkok-bengkokkan, dicari-cari alasan untuk tidak menganggap kejelasan itu sebagai hal yang mesti untuk diikuti.
Entahlah dunia semacam apa yang kita diami saat ini. Uang sogokan pembeli suara dibilang sedekah. Uang sogok dipelintir menjadi uang yang mulia. Pendosa tidak mau dibilang pendosa. Mereka bahkan membengkokkan tindakan dosa menjadi suatu amalan yang layak dipuji. Entahlah, di dunia yang makin kabur batas antara kebaikan dan keburukan ini, sepertinya menegakkan yang benar sebagai benar dan salah sebagai salah adalah juga suatu keanehan. Berlaku benar akan terkucilkan dalam mainstream yang permisif dengan kebobrokan. Seorang yang mencoba tetap benar dianggap tidak waras, gak umum, sok suci, dan lainnya. Sedih? tentu saja. Dan dunia akan semakin kejam membuang para idealis ke pinggiran.
Esok langit indonesia akan murung. Esok langit menatap sinis dagelan politik manusia-manusia Indonesia yang bertransaksi suara. Esok miliaran rupiah akan mengalir dan masuk kantong jutaan pemilih, dibelanjakan, dan menjadi makanan haram bagi diri dan keluarga. Esok bahkan langit akan mencatat, sebagian kita akan bilang "Persetan!", yang penting bisa makan. Esok langit akan mencatat calon pemimpin daerah berkoar "Peduli setan!", yang penting saya mendapatkan jabatan. Esok Indonesia pesta pora dosa dan kita sama sekali tidak menyadarinya.
Demi apa semua money politics ini?
Demi jabatan memimpin suatu daerah?
Demi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari perhitungan?
Demi berlama-lama dihisab perbuatan memimpinnya, detil demi detil dan dihitung balasannya?
Demi peluang yang lebih besar masuk dalam neraka yang lebih hebat levelnya dan lebih lama di dalamnya?
Demi apa?
Demi dianggap hebat karena menjadi pemimpin?
Demi agar orang lain tunduk di bawah titahnya?
Demi menyelamatkan harta keluarga dan korporasinya?
Entahlah dengan Anda, tapi bagi saya terlalu berat konsekuensi yang harus diemban untuk kursi kepemimpinan.
Ilustrasinya semacam orang yang membayar tiket sangat mahal demi mendapatkan kesempatan yang lebih besar agar dijebloskan dalam neraka. Sangat tidak masuk akal.
Entahlah. Kadang sulit juga memasuki alam pikiran orang yang tak lagi menjadikan surga dan neraka sebagai suatu keyakinan yang diamininya.

MOHAMMAD HATTA,TAK SEKEDAR ORANG KEDUA (3) -KAUM INTERNIR, BERJUANG DAN DIBUANG-

Tahun 1933 suhu politik nasional kian memanas. Belanda menyadari pergerakan partai-partai politik semakin intensif, massif, dan terstruktur. Di mana-mana terdapat rapat anggota partai dengan ideologinya masing-masing. Mesin pendidikan politik bekerja siang malam untuk mencerdaskan watak manusia Indonesia. Membuka matanya yang selama ini buta bahwa negeri ini bagaimanapun juga harus merdeka. Terbebas dari otorisasi manusia asing dari negeri kincir angin. Benar!! Periode itu bahkan untuk berjuang merdeka pun belum ada kata sepakat. Ingat! Segelintir bule Belanda itu bisa memperkosa Nusantara dari Sabang sampai Merauke selama ratusan tahun, bukan sebab mereka kuat. Itu karena Nusantara menyediakan para pengkhianat dan penjilat dengan jumlah melimpah untuk mengabdi pada mereka. Suasana makin genting tahun 1933 saat polisi-polisi Hindia Belanda semakin banyak disebar untuk memata-matai dan membubarkan segala macam rapat yang mengobarkan nasionalisme. Puncaknya pada penangkapan Soekarno, Agustus tahun itu. Rakyat berduka mengingat nasib yang akan ditanggung Soekarno.
Internir! Dibuang dan diasingkan dari akar rakyat yang mendukungnya! Internir! Kata itu menjadi semacam senjata untuk menakut-nakuti pemimpin pergerakan manapun. Belanda mengira ancaman itu sudah cukup ampuh menggertak. Tapi tidak tentu saja, pemimpin-pemimpin Indonesia sudah sangat insyaf bahwa di-internir, dibuang ke tempat nun jauh dan terpisah dari keluarga, merupakan harga yang harus dibayar untuk sebuah perjuangan. Mereka itu, jangankan dibuang, dibunuh pun menjadi kebanggaan mereka di hadapan rakyatnya. Maka tak ayal, gelombang penangkapan dan pembungan meluas dimana-dimana. Tokoh-tokoh Partindo pimpinan Soekarno, PNI pimpinan Hatta, Permi (cikal Masyumi) pimpinan Mochtar Luthfi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) gagasan Tjokroaminoto ditangkap. Soekarno ke Ende Flores, Hatta ke Boven Digul, nun jauh di pedalaman Papua. Soal tempat internir ini, bisa dikata Hatta mengalami hidup yang lebih sengsara. Di Ende, Soekarno hidup dengan layak. Di Boven Digul, yang memang terkenal sebagai pusatnya pembuangan pemimpin nasional, Hatta menjalani hidup prihatin terancam ganasnya malaria beserta ratusan pemimpin lainnya dari seantero Nusantara. Di Boven Digul, yang orang sebut sebagai neraka buatan Hindia Belanda.
Dalam memoarnya, Hatta tak pernah menyesal di buang ke Boven Digul. Jauh-jauh hari Hatta telah mempersiapkan hari dimana dia diangkut kapal menuju tanah orang buangan. Sebab baginya, dengan berada di sana, Hatta mendapat pengakuan sebagai pemimpin yang berbahaya oleh Belanda. Setahun lamanya Hatta di Boven. Tak ada yang berubah dengan kebiasaannya. Usianya 31 tahun saat itu dan Hatta sudah sangat terbiasa membagi waktunya dengan teliti. Jam sekian sampai jam sekian, sarapan dengan sebutir telur dan secangkir dua cangkir kopi, jam sekian baca buku, jam sekian masak di dapur, jam sekian melakukan tugas pertukangan, jam sekian menulis artikel ke majalah, dan seterusnya. Mengenai pembagian waktu, Hatta memang seperti mengidap obsesif. Dan benar, bahkan ke Boven Digul pun, buku-bukunya yang jumlahnya ratusan itu ikut juga menemaninya. Masih 16 peti besi semua isi buku yang dia bawa dari Belanda. Hatta, lelaki lurus itu, pergi ke pembuangan seperti halnya orang tamasya berkeliling kota. Tidak ada kesedihan setitik pun saat dia berpamitan pada keluarga besarnya di dermaga Tanjung Priok, tak tahu akan kembali atau tidak, tak tahu akan mati atau tidak, Hatta insyaf di-internir tak lebih dari konsekuensi jalan yang dia pilih.

MOHAMMAD HATTA,TAK SEKEDAR ORANG KEDUA (2)

Dipenghujung tahun 1959 Hatta memilih berpisah dengan Soekarno. Ia lebih memilih menyingkir dari istana dari pada menyimpan terlalu lama lara. Masyarakat gempar, sebagian besar tak mampu menyembunyikan kecewa. Dwi tunggal Soekarno-Hatta telah retak. Kedua putra yang digadang sebagai harta terbaik bangsa menempuh jalannya masing-masing. Soekarno dengan kepemimpinan yang mulai merasa dirinya sebagai pusat alam semesta. Hatta dengan pendirian kokohnya bahwa Soekarno telah salah memilih jalan. Hatta, lelaki pendiam itu, merasa lebih baik pergi daripada berbicara pada kepala batu. Sesungguhnya bagi yang memahami sifat dasar keduanya, perpisahan di ujung 1959 itu hampir pasti terjadi, Just a matter of time. Hatta memiliki kepala yang tak kalah kerasnya dari Soekarno bila itu menyangkut prinsip. Ia tak kenal kompromi pada yang tak taat aturan.
Strategi politik Soekarno melalui yang terbaca dalam PNI (Partai Nasionalis Indonesia) semua berkutat mengenai dirinya. Soekarno menjadikan dirinya sebagai aktor tunggal dimana simpatisan lain wajib berorbit padanya. Model politik yang ditempuhnya sangat rapuh, terlalu leader-dependent. Soekarno lupa bahwa kemampuan penggerakkan massa melalui agitasi-agitasi orasi yang membakar, pada intinya lemah. Maka benarlah saat Soekarno diringkus dan dijebloskan penjara Sukamiskin, serta merta PNI tiarap. Tak ada kader yang bisa menggantikan fungsinya. Alat politik terlalu bergantung padanya.
Hatta, di sisi lain, menyadari betul hal ini. Hatta sadar mesin politik yang baik adalah mesin politik yang tak surut dengan pembuangan pimpinan partai politiknya. Politik harus terus menerus bekerja dengan amunisi kader yang melimpah. Mati satu, tumbuh pengganti seribu. Bukan pemimpinnya yang penting, tapi tujuan yang hendak dicapai partai politik itulah yang lebih penting. Sikap Hatta tercermin jelas pada pembentukan partainya, PNI baru (Pendidikan Nasionalisme Indonesia). Pendidikan dan bukannya partai. Suatu penamaan yang sempat mendapat cemooh dari garis perjuangan lain yang merasa lebih radikal, lebih non koperatif. Setengah mengejek Hatta yang menggunakan kata “Pendidikan” sebagai singkatan PNI baru. Hatta menjawab dengan lugas dalam surat kabar Daulat Ra’jat.
“Organisasi kita, kaum Daulat Rakyat, bernama Pendidikan Nasional Indonesia. Pendidikan! Bukan atau belum lagi partai. Bukan karena khilaf atau curiga diambil nama “Pendidikan”, melainkan dengan sengaja. Orang yang kurang paham menertawakan perkumpulan kita sebagai “sekolah-sekolahan”. Baik, kita tidak akan berkecil hati atau marah. Memang kita mau “bersekolah” dahulu, bersekolah untuk membentuk budi dan pekerja, bersekolah dalam memperkuat iman.”
Tulisan tersebut dibuat Hatta pada tahun 1932, saat usianya 30 tahun, selang satu bulan sejak sekembalinya dia dari belajar 11 tahun di Belanda. Ya, 30 tahun dan dia sudah menjadi pemimpin nasional yang disegani. Hatta adalah generasi terpelajar pertama yang dimiliki republik ini. Generasi yang berada pada puncak menara gading keterpelajaran. Hatta dihasilkan oleh pendidikan Belanda langsung dari sumbernya di Rotterdam. Ia terbiasa melahap habis buku-buku tebal textbook ekonomi dan menjalani ujian tentamen langsung dengan professor terpelajar di Belanda. Saat Hatta tiba di Tanjung Priok, jumlah buku yang dia bawa sebanyak 16 peti besi! Dibutuhkan tiga hari lamanya menyusun keseluruhan bukunya dalam almari. Hatta pecandu membaca buku, sangat mencandu. Ia menyediakan jadwal khusus di tiap harinya, jam-jam untuk membaca buku, jam dimana Hatta tak ingin diganggu. Dengan kualitas keteraturan hidup yang dia jalankan ketat, tak mengherankan bahwa saat usianya 25 tahun, Hatta menjadi salah satu pemimpin sidang “Liga menentang Imperialisme dan penindasan Kolonial” di Brussel pada tahun 1927.
Dalam Indische Vereneging, Hatta begitu kuat menancap. Melalui organisasi itu, Hatta suarakan keliling Eropa untuk kemerdekaan suatu negeri bernama Indonesia. Hatta kampanyekan tak kenal henti, meski akhirnya dia pernah dijebloskan dalam penjara, Hatta sama sekali tak gentar. Dalam pledoinya yang berjudul tegas, “Indonesia Vrij/ Indonesia Merdeka” ia dengan tanpa gentar menyerang kesewenang-wenangan negeri Belanda atas Indonesia, tepat di jantung negeri kincir angina itu, di bawah tatapan para hakim yang siap menjatuhkan sanksi penjara lebih kejam. Hatta adalah orang yang tak sudi menelan ludah sendiri. Sekali dia berkata dan berjanji, maka dengan segenap jiwa akan ia usahakan untuk memenuhinya. Suatu ketika Hatta pernah berjanji tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Janji yang terlalu keras kepala. Andai sejarah tak mengijinkan Indonesia merdeka dalam masa hidup Hatta, bukankah ia tidak akan pernah menikah. Namun begitulah Hatta. Cinta pertamanya adalah pertiwi ini. Kemerdekaan pertiwi menjadi cita-cita yang ia impikan siang malam. Tak jemu berkorban, tak surut semangat, tak kenal patah arang.

MOHAMMAD HATTA,TAK SEKEDAR ORANG KEDUA (1)

Tak dapat disangkal, bagi beberapa pemujanya Soekarno masih semacam dewa. Posternya yang sedang berteriak lantang dengan tangan mengepal tak sulit ditemukan. Dengan balutan jas saku empat berkerah sedikit lebih tinggi dan kopiah hitam yang bertengger di atas wajah rupawannya, figur Soekorno masih mampu menyihir jutaan rakyat Indonesia hingga detik ini. Soekarno semacam “gold standard” tipikal pemimpin yang semestinya dimiliki republik ini. Ia dijadikan simbol kata revolusi yang tak kenal mati. Ia dijadikan panutan bagaimana orator menggerakkan massa, menjadikan kata sebagai senjata. Singkat kata, bila ada dewa yang dilantik dari warga Indonesia, Soekarno adalah kandidat pertama.
Dibanding Soekarno, Hatta adalah nama yang sayup-sayup saja terdengarnya. Disandingkan dengan Soekarno, Hatta seakan tak ada baunya. Kalah kelas, kalah popularitas. Orang mengingatnya sebagai nama yang mengiringi nama besar Soekarno. Sebagai embel-embel yang menempel pada keagungan yang diperTuanAgungkan Soekarno. Sekedar orang kedua yang menemani Sang Proklamator, Sang Penyambung Lidah Rakyat, Sang Pemimpin Besar Revolusi. Sebagai orang berkacamata yang tampak pintar dan selalu menemani Soekarno pada era revolusi. Singkat kata, Hatta semacam simbol “The Second Men” yang tampak tak terlalu berguna.
Apa mau dikata, begitulah hukum dunia berlaku. Tak ada tempat untuk orang kedua yang selalu di bawah bayang-bayang aktor utama. Dan Soekarno memang pandai memerankan diri menjadi tokoh sentral dalam wayang zaman kemerdekaan. Ia sadar betul wajah rupawannya akan semakin mematikan racunnya bila dicampur kemampuan orasi yang menyala-nyala. Ia permainkan tinggi rendah suara, penekanan dengan ketukan sempurna, diksi yang teliti untuk merampas emosi dan jiwa para pendengarnya. Dan sayangnya Hatta bukanlah tipikal orator yang baik. Tulisan-tulisannya di surat kabar yang runtut, ilmiah dan sekaligus kental dengan aroma nasionalisme tak diimbanginya dengan kemampuan yang cakap berorasi. Terlebih bila lawannya adalah Soekarno Sang Singa Podium, orator ulung pun tampak amatir pada zaman itu.
Hatta lahir dari tanah yang istimewa, Bukittinggi Sumatera Barat. Tanah para pejuang Paderi di bawah komando jihad Imam Bonjol. Tanah para syuhada bersorban yang bersimbah darah menjemput ajal atas penjajahan Belanda yang berlaku zalim atas tanah nenek moyang. Tanah tempat asal niatan memperbaiki syariat islam yang tercemar adat judi, madat, mabuk, zina, dan sabung ayam. Tanah yang kental warna hijaunya islam, yang tak pernah kering melahirkan tokoh islam nasional, H. Agus Salim, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Buya Syafi’I Ma’arif, dan banyak lainnya. Hatta lahir dari keluarga islam kuat. Dari garis keturunan ayahnya dapat ditarik rentetan panjang darah ulama. Ulama-ulama yang berkhidmat pada Imam Bonjol, yang ilmunya bukan ilmu abal-abal, Ilmu islam yang langsung ditimbah melalui perjuangan rantau di Mekkah Al-Mukaromah. Sebegitu kentalnya budaya islam dalam keluarga Hatta, hampir saja sejarah tak akan mengenal dia sebagai wakil presiden pertama, sebab sejak belia Hatta sudah direncanakan untuk menjadi ulama dengan merantau ke Mekkah seperti sanak saudara yang lainnya.
Hatta dididik dan dibesarkan dalam keluarga yang begitu taat menjalankan syariat. Selain bersekolah di sekolah Belanda, sore harinya Hatta belajar mengaji dan ilmu islam pada berbagai ulama di surau. Pondasi islam begitu penting dalam kehidupan Hatta selanjutnya. Saat ia telah sampai di Belanda untuk kuliah di Handels Hogeschool Rotterdam jurusan ekonomi dan kemudian aktif dalam organisasi pergerakan Indische Vereneging, ia tetap teguh menjalankan kemuslimannya. Selama hampir 11 tahun di Belanda sejak ia berusia 19 tahun, tak sekalipun, tak seteguk pun ia menenggak alkohol seperti lazimnya sarjana-sarjana lain Indonesia yang tergelincir budaya barat. Lebih dari itu, Hatta tetap menjaga sholat dan puasanya di tengah kehidupan asing negeri kincir angin. Persoalan tidak minum alkohol ini sepertinya sepeleh, tapi di tengah hidup priyayi-priyayi Indonesia yang mulai terbiasa dengan alkohol, keteguhan semacam itu sungguh mahal harganya. Meski selanjutnya ia tak begitu menujukkan warna hijaunya dengan memasuki partai hijau Masyumi, secara pribadi Hatta adalah buah dari pohon yang hijau.
Dibandingkan dengan Hatta, akar keislaman Soekarno tidaklah tajam menghujam. Dengan ayah seorang priyayi menengah yang penuh sesak adat Jawa dan ibu seorang wanita Bali yang beragama Hindu, bisa dibayangkan kadar keislaman seperti apa yang membesarkan Soekarno. Ia tak pernah secara khusus mendapatkan ajaran mengaji atau ilmu agama dari ulama. Satu-satunya persinggungan dia dengan pendidikan islam mungkin adalah saat Soekarno menjadi murid sekaligus anak kost H. Oemar Said Tjokroaminoto di Surabaya, tokoh nasionalis priyayi yang menunjukkan dengan terang-terangan pembangkangannya terhadap Belanda. Tjokroaminoto meskipun melahirkan organisasi penting Sarekat Islam (SI), bukanlah seorang islam yang lahir dari budaya santri ulama, ia mendefinisikan ulang islam priyayi yang abangan menjadi sedikit miring ke kanan. Hanya sedikit saja, akar Jawanya terlalu kental untuk ia bongkar. Soekarno sama halnya dengan Tjokroaminoto. Dalam perkembangan selanjutnya, tampak jelas abangan Soekarno. Alih-alih merapat pada Masyumi, Soekarno lebih memilih mencari pendukung dari Partai Komunis Indonesia dan membubarkan Masyumi dengan M. Natsir sebagai ketuanya. Soekarno meskipun berulangkali menyabdakan manunggaling NASAKOM (Nasionalisme Agama Komunisme), sesungguhnya ia khilaf bahwa agama dan komunisme terlalu konfrontatif untuk disatukan. Soekarno adalah merah, ide-idenya mengenai sosialisme komunisme mengebiri paradigma terhadap agama islam yang dianutnya.

AIR KENCING RIZA CHALID DAN PELACURAN MKD

Nama lembaga itu gagah bukan kepalang. Mahkamah Kehormatan Dewan. Institusi yang diberikan amanah menjaga martabat dan kehormatan anggota dewan seantero Indonesia. Betapa hebat kerjanya. Memastikan anggota dewan yang menjadi perwakilan segenap rakyat tumpah darah Indonesia, memenuhi janji kehormatan berpikir, berbicara, dan berlaku atas nama ratusan juta manusia Indonesia. Betapa mulia semestinya lembaga itu. Lembaga semulia itu pastinya diisi oleh manusia-manusia yang kemuliaan akhlaknya tak perlu lagi dipertanyakan. Lembaga yang menjaga marwah dewan semacam itu mestinya terisi pribadi-pribadi yang kualitas akhlaknya paling tinggi diantara semua anggota DPR. Perwakilan terbaik dari masing-masing fraksi yang dianggap paling jernih pikiran dan putusannya. Semestinya seperti itu, seharusnya semacam itu. Namun di negara dimana akal waras seringkali dianggap gila ini, segala hal semestinya teramat sering menjadi tidak mesti. Dikhianati, dibelakangi, ditelikung, dan ditikam terang-terangan.
Dugaan umum publik bahwa DPR di senayan itu kumpulan bajingan-bajingan berdasi dan berpakaian safari adalah suatu hal yang ingin dengan sungguh-sungguh diharapkan tidak demikian kenyataannya. Kita ingin berpikir DPR yang bajingan itu hanya oknum, sisanya masih banyak yang bisa diharapkan. Kita ingin berdoa bahwa anggapan DPR yang licik, culas, licin, main anggaran, dan sebagainya itu hanya rumor semata. Pikiran buruk yang dibentuk oleh sulap media. Kita ingin berpikir masih banyak anggota dewan berhati bersih yang betul-betul mengabdikan hidupnya menyuarakan hati rakyatnya, berdiri paling depan siap mati membela kita, tak silau oleh kilau pundi-pundi emas berlian yang mengucur dari tiap kongkalikong anggaran, dan yang berdiri atas nama kepentingan umum, tidak petugas penyuara perwakilan fraksinya semata.
Entahlah mungkin kita harus mulai meyakini DPR benar adanya sebagai sarang bajingan. Preman-preman nyentrik dengan otak bulus nan licik. Entahlah dengan tipu-tipu kerja MKD ini, apakah kita harus berhenti berharap ada orang baik di senayan. Apakah kita mesti berhenti beranggapan bahwa negara ini tidak dijalankan semata oleh politik transaksional. Yang didasarkan pada keuntungan fraksi, kubu, kongsi tertentu. Siapa untung berapa? Siapa dapat apa? Rasanya menyedihkan bila benar adanya politik yang berkutat di Jakarta dijalankan demikian. Kami, rakyat yang bodoh ini, menjadi penonton semata atas pertarungan sengit antar kongsi memperebutkan triliunan jatah republik yang dimasukkan dalam kantong pribadi. Dan mereka mengatasnamakan kami dalam tiap pencuriannya. Dan mereka berada disana pun atas suara kami di bilik suara. Pengkhianatan besar-besaran atas suara rakyat.
Namun, jangan-jangan ada kenyataan mengerikan lainnya. Jangan-jangan memang semua anggota dewan dalam tiap partai politik sama bajingannya. Yang satu bajingan warna kuning, warna merah, warna biru, warna jingga. Yang lain bajingan berkopiah dan berjenggot panjang. Entahlah. Jangan-jangan siapapun kongsi bisnis yang menguasai republik ini, keadaan akan tetap sama. Hanya berbeda penguasanya dan pergantian orang yang mencicipi kue haram atas nama negara.
Sejatinya kehormatan dalam MKD telah nyata dikhianati saat beramai-ramai fraksi menukar pemainnya di MKD. Ini apa? semacam pergantian pemain sepakbola mendadak? Tak pernah ada asap bila tak ada api, selalu ada sebab di setiap akibat. Jawabnya jelas, masing-masing fraksi mengganti orang-orang yang diperkirakan masih bisa menggunakan akal sehatnya dengan orang yang sepenuhnya akan menyuarakan suara bendera partainya. Sungguh kampret luar biasa MKD kita ini. Kekampretan ini tak berhenti di sini. Publik dibuat bingung mengapa persidangan Sudirman Said dan Maroef Sjamsuddin yang berposisi sebagai pelapor diadakan secara terbuka, namun persidangan Setya Novanto sebagai pihak terlapor justru diadakan secara tertutup? Akal-akalan macam apa lagi ini? Logika apa yang digunakan MKD? Ada transaksi politik besar-besarankah antara anggota MKD? Sulit rasanya untuk tidak berpikir ada kongkalikong hebat-hebatan dalam tubuh MKD, ada persekutuan jahat di dalamnya, ada jual beli di sana! Ada kompromi yang sedang menggelegar untuk menyelesaikan kasus ini secara “damai” saja. Ibarat drama teatrikal di setiap pojok polisi saat menggeret pelanggar jalan demi lembar uang. Singkatnya, sulit untuk tidak berpikir semuanya bajingan. Rasanya kasus ini akan berakhir sesuai dugaan. Setya Novanto tetap menjadi ketua DPR dengan harga pelacuran MKD. Dan kita, lagi-lagi rakyat yang bodoh ini, menjadi makin linglung bagaimana mekanisme kehormatan negara ini dijalankan.
Episode berikutnya yang menarik adalah soal Riza Chalid. Sang taipan minyak, cukong besar perminyakan Indonesia. Menjadi pertanyaan serius adalah, saat Sudirman melapor dan ditengarai ada keterlibatan Riza Chalid, mengapa tidak ada pencekalan ke luar negeri? Mengapa dalam pengaduan Sudirman Said ke Jokowi-Kalla sebelum kasus ini dibawa ke MKD, negara tidak mencekalnya dengan segala alat polisi dan TNI yang dimilikinya? Mengapa negara sepertinya tutup mata dan seakan membiarkan Riza Chalid terbang ke luar negeri, bersantai di suatu pojok bumi berleha-leha sementara seluruh media Indonesia ramai membicarakannya? Kebodohon macam apa ini yang diperlihatkan negara? Jawabannya negara tidak bodoh, lembaga negara pun berhitung saat akan berurusan dengan sosok Riza Chalid. Alih-alih konfrontasi langsung dengannya, pemerintah justru memberikan bola panas ini ke MKD. Pemerintah ingin cuci tangan dan mengadu Riza Chalid dan MKD. Biarkan saja MKD kebingungan, bukan soal mudah berurusan dengan mantan bos PETRAL ini. Riza Chalid bukan sosok kemarin sore. Ia adalah legenda taipan minyak Indonesia. Gurita yang bahkan namanya seringkali tidak berani diucapkan secara langsung. Meski sedemikian besar, Riza lebih banyak diam dan bergerak dalam gelap. Ia membiarkan dirinya hanya sebagai tokoh antara ada dan tiada yang beraksi di belakang layar besar pertikaian politik Indonesia.
Sepak terjang Riza sebenarnya memiliki sejarah yang lama. Sejak era cendana konon ia begitu dekat dengan salah satu putra mahkota, Bambang Trihatmojo. Di era Cikeas ia bertahan dan konon makin jaya. Dikabarkan Cikeas meminta sekian dolar untuk setiap barel minyak yang diimpor secara monopoli oleh Riza. Konon Hatta Rajasa sebagai Menko Ekonomi saat itu, berjabat tangan erat dengan gembong mafia migas tersebut bekerjasama untuk melenggangkan keabadian monopoli impor migas. Konon Hatta menolak pembuatan kilang minyak agar Riza tetap mengumpulkan pundi-pundi uang yang dibagi bersama. Dalam pemilihan presiden kemarin, konon Riza mendukung Prabowo dengan support dana 500 Miliar. Dengan adanya Hatta di samping Prabowo, tentu diharapkan permainan lama yang telah bergulir dapat dilanjutkan. Konon Riza juga bermuka dua, pada kubu Jokowi ia pun menanam dana meski tak sebesar Prabowo. Namanya juga pedagang, ia memikirkan segala kemungkinan yang ada. Riza ini, tak terbantahkan, lintah bagi republik ini!!
Lalu sekarang Riza di antah berantah. Rasanya bohong bila negara tidak mengetahui keberadaannya. Yang lebih mendekati kebenaran adalah seluruh pihak saling cuci tangan untuk menyeret dia ke Indonesia. Sebab bila Riza bersuara, bisa gawat jadinya. dari mulutnya, bila dia nekat, segala skandal tiap kubu dapat diungkap dan dibentangkan terang-terangan. Itulah Riza, ia tak ingin mati sendiri tentu saja. Kini Riza dengan santai mengencingi negara ini dengan ketidakmampuan negara menghadirkannya dalam persidangan, meski sekedar jadi saksi. Riza membuat negara ini mandul. Negara dengan segenap aparaturnya dikalahkan oleh seorang individu bernama Riza. Gembong mafia migas. Negara mempertontonkan kemandulannya pada segenap anak bangsa tumpah darah Indonesia. Ini memalukan, sangat memalukan semestinya. Tapi di negara ini, rasa malu sepertinya memang tak perlu lagi dimiliki.
Negara ini tak berkemaluan!

DIRI KITA DALAM SETYA

Kasus ini menjadi makin rumit. Setya menyerang balik Sudirman Said dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui polisi. MKD makin sulit dibaca arahnya. Keberpihakannya pada kebenaran dan amanah kehormatan dewan semakin dipertanyakan. Bau busuk ini sejatinya mulai menguar saat Sudirman Said sebagai pelapor justru dicecar dan didudukkan layaknya tersangka. Dipertanyakan motivasinya, keaslihan rekamannya, legal standing posisinya. Berputar-putar dan terus berkutat pada hal yg sama. Justru meminta Sudirman minta maaf pada Setya karena melaporkannya. Maroef Sjamsuddin bernasib sama. MKD mencecarnya, menanyakan motivasi presdir Freeport itu merekam dan membocorkannya ke media. Ada kongsi besar apa antara Maroef dan Sudirman menghajar Setya dan hendak menghancurkan karirnya?
MKD pura-pura bertanya. Publik makin dibuta-butakan, digiring-giring opininya,dibuat semakin kabur akar masalahnya. Dijauh-jauhkan dari kebenaran. Dibuat percaya sistem hukum sedang bekerja untuk membongkar ini semua. Padahal tak lebih dari sandiwara saling lirik mata. Menutupi grand design busuk jalinan rumit manusia-manusia yg saling tikam untuk berebut jatah haram atas nama negara.
Kasus ini menjadi makin rumit. Tak jelas lagi siapa kiranya bajingan siapa pahlawan. Masing-masing saling serang. Masing-masing merasa pihaknya yg benar. Kita yg duduk di depan televisi dibuat takjub bagaimana bualan-bualan dipoles menjadi kebenaran.
Berpikir kasus ini, berpikirlah yg rumit, berpikirlah sistemik. Berpikirlah siapa di balik siapa, mengapa dibalik apa. Berpikirlah luas atas segala kemungkinan. Di negara di mana hukum jadi permainan, setiap orang layak dicurigai bajingan.
Mengapa Sudirman melaporkan Setya? Ada angin apa ia mendadak tampil pahlawan? Siapa penyokong Sudirman? Ada dendam apa dia pada Setya dan kongsinya?
Apa motivasi Maroef membeberkan ini semua? Kenapa dia tak memilih diam dan main bawah dgn salah satu pihak? Bukankah ini membuat publik makin tahu Freeport seperti apa?
Atas dasar apa berani-beraninya Setya memakai nama Jokowi,Kalla, dan Luhut untuk bernegosiasi memakan divestasi saham Freeport?Adakah dia cuma sekedar bernyali tinggi untuk membual? Ataukah dia mendapat dorongan dari Ical dan Prabowo agar kue dimakan bersama? Ataukah dia benar lari diam2 dari KMP dan buat kongsi dgn Jokowi-Kalla-Luhut?
Apa Kalla tak terlibat? Benarkah dugaan Kalla membawahi Sudirman dan Maroef untuk melancarkan jalan memakan saham Freeport untuk perusahaannya? Dimana posisi Luhut? Apakah bisnisnya tak ikut terlibat?
Benarkah Jokowi bersih betul dari urusan ini? Apa benar dia sekedar incaran pihak Kalla dan KMP untuk mendapatkan tanda persetujuan bagi2 divestasi saham? Apakah Jokowi murni hatinya untuk tak mendapat apa2 dari pesta besar uang dolar ini?
Bagaimana dgn Mega dan bantengnya?
Ada apa gerangan Riza Chalid disana? Ia konon adalah cukong Prabowo dan KMPnya? Jangan2 Riza adalah mata rantai dari keterlibatan grup bisnis Ical, Prabowo, dan antek-anteknya.
Semua ini menjadi tanya. Dan setiap kemungkinan jawaban akan melahirkan anak2 pertanyaan lainnya. Tak pernah berhenti. Selalu ada sisi tersembunyi.
Sesungguhnya kasus Satya adalah wajah kita. Watak bangsa yang sulit untuk bicara gamblang. Menyatakan lantang yang benar adalah benar dan salah adalah salah adanya. Watak bangsa yg gemar mengkabur-kabur, membelok-belokkan kenyataan. Memplintir yg sebenarnya sudah jelas. Bersembunyi dalam kata-kata yg dipercantik. Tampak gagah di depan padahal pengecutnya bukan kepalang. Saling tuding dan suka menikam dari belakang. Satya adalah kita. Ia tak lebih dari perwakilan watak bobrok bangsa ini.
Sesungguhnya kasus Satya tak serumit ini bila tak di Indonesia. Di China, org semacam Satya akan dgn cepat dinyatakan bersalah, mencatut lembaga kepresidenan dan mempermalukan negara. Ia akan berdiri di depan regu tembak tanpa penutup mata. Peluru akan menyasar kepalanya, bukan jantungnya. Sebab jantungnya, begitu pula liver dan ginjal, akan dipanen setelah rebah tubuhnya. Dimasukkan dalam bank donor dan diberikan pada yg membutuhkannya. Setidaknya ia mati menanam pahala. Di Jepang nasib org semacam Setya tak jauh berbeda. Tekanan masyarakat di sana bahkan jauh lebih besar. Negara tak perlu repot-repot agendakan hukuman. Ia akan dgn sadar membuat upacara bunuh dirinya sendiri. Berpakaian kimono putih,menusukkan katana merobek perut sisi kirinya. Tumbang dan bersimbah darah dalam kematian yg diyakini terhormat.
Itu disana. Di sini kasus ini hanya kegaduhan di awal. Ribut-ribut, gonjang-ganjing, berlarut-larut, dibiarkan mengambang lama tanpa putusan. Lalu boom! ada rekayasa kasus lain pengalih perhatian dan mendadak publik amnesia pada yg sudah-sudah. Persis ereksi gagal orgasme dan ejakulasi!

Jumat, 21 Februari 2014

BPJS, Dilema Sebuah Mimpi Bangsa.

Kesehatan dan pendidikan!! Bagi saya itu adalah dua tugas pokok tugas negara untuk memenuhinya. Tak peduli seberapa miskin suatu negara, ia harus berupaya memenuhi sesuai kemampuannya. Tak peduli seberapa liberal suatu negara, urusan pendidikan dan kesehatan negara tak boleh mencuci tangan dan menyerahkannya pada sistem pasar liberal. Yang punya uang memiliki akses ke pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan yang super, sedang yang miskin tak mampu menyentuh akses pendidikan dan harus menerima kenyataan bahwa pelayanan kesehatan adalah di luar jangkauan financial mereka.
Anda lalu bertanya mengapa negara harus terbebani dengan dua hal itu? Jelas, jawabannya adalah karena itulah alasan kita bernegara. Untuk apa kita berhimpun, menyatukan hati, merasa sebagai satu tanah air, dan mendeklarasikan diri sebagai satu bangsa? Untuk apa kata merdeka kita tebus dengan tumpahan darah dan banyak airmata pendahulu kita? Sebab kita inginkan negara merdeka yang melindungi hak kesehatan dan pendidikan warganya. Negara yang tak menanggung domain kesehatan dan pendidikan warganya adalah negara sampah. 
"Oh Bung, Anda jangan menanyakan apa yang bisa negara berikan pada kita, tapi tanyakan apa yang bisa Bung bisa berikan pada negara?"
Sangat patriotik! tapi patetik. Ya, Anda harus berguna bagi negara, tapi negara juga harus berguna bagi Anda. Negara yang tak memberikan manfaat bagi warganya, percuma didirikan.
Saya tak pandai berbicara masalah pendidikan, itu jelas bukan domain saya. Sebagai awam saya hanya mengukur dari indikator, bahwa selama pendidikan dasar 9 tahun hanya masih menjadi bualan lama dan masih banyak anak-anak di pelosok yang tak kenal sekolah, masih banyak yang menjadi buruh, bahwa selama tembok perguruan tinggi (bahkan yang PTN) sekalipun semakin beraroma komersil dan hampir mustahil disentuh golongan miskin, selama itulah persepsi saya tidak berubah bahwa negara tidak menyediakan mekanisme "pendidilkan untuk semua."
Kembali ke urusan kesehatan, yang sedikit banyak saya tahu kenyataannya. Sebelumnya patut diketahui tahun ini, sejak Januari 2014 garis batas sistem kesehatan kita telah berevolusi. Pemerintah dengan berbusa-busa menetapkan tahun ini sebagai awal aplikasi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), BPJS kesehatan. Sistem baru yang mengakhiri sistem lama Jamkesmas-ASKES. Suatu sistem baru yang diimpikan para perumus perundangan menjadi mimpi besar bangsa kita, bahwa setiap warga negara akan tercakup dalam suatu sistem kesehatan yang melindungi hak akses kesehatan warganya. Semuanya!! tak peduli miskin kaya, tua muda, alim ulama atau begundal, semua dilindungi hak kesehatannya melalui sistem asuransi kesehatan nasional bernama JKN.
Whoa....whoa....whoa......, hebat nian mimpinya, indah sekali idealismenya, dan gagah sekali republik ini berperan mengurusi warga negaranya yang sakit. Wait a second....!! di negara yang penuh tipu muslihat dan tipu-tipu ini adalah haram untuk percaya begitu saja atas mimpi indah yang menjadi nyata.
Ilustrasi mimpi besar itu adalah semacam ini. Esok saat 2018, hampir semua warga negara akan masuk sebagai peserta BPJS kesehatan. Mereka konon akan mendapatkan pelayanan standar  yang sangat memuaskan. Di tingkat primer, masyarakat akan dilayani oleh dokter BPJS tingkat primer dengan sistem kapitasi. Semacam dokter keluarga, dengan rasio 1 dokter akan melayani 3000-4000 pasien. Bila pasien sakitnya membutuhkan pelayanan kesehatan lebih, mereka akan dirujuk ke tingkat sekunder setingkat kabupaten atau tersier di tingkat provinsi. Pokoknya pasien tahu beres deh, seberat apapun penyakitnya terdapat sistem yang akan siap melayaninya. Wuih.....keyen....! katanya. Di pihak dokter tak kalah memukau. Dokter yang menangani kapitasi di tingkat primer konon akan dibayar 6000-10.000/kepala/ bulan. Coba kita sedikit hitung-hitungan. Katakanlah dokter melayani 3000 kepala dengan insentif paling kecil 6000, maka tiap bulan ia mendapatkan = 3.000x6.000=18 juta. Whoa!! bagi dokter puskesmas yang setiap bulan mendapat gaji 3 juta dan praktik pribadi yang tak begitu ramai, itu jelas uang besar. Bagaimana dengan dokter di tingkat rujukan? logikanya bila di primer saja dapat segitu, lebih-lebih di tingkat rujukan. Well....itu kan katanya, itu kan rekaannya.
Sedikt review ke belakang, terutama bagi teman-teman di luar kesehatan yang masih bertanya-tanya, apa sih bedanya dulu dan sistem sekarang. Dulu pelayanan kesehatan di instansi pemerintah membagi golongan pasien menjadi 4 besar; ASKES klo situ PNS, UMUM klo kamu bayar pakai kantongmu sendiri, JAMSOSTEK bagi pegawai non PNS, dan JAMKESMAS bagi orang yang oleh negara distempel sebagai "orang miskin". Kita kesampingkan dulu TNI POLRI, mereka punya mekanisme tersendiri melayani anggotanya.  ASKES berjalan melalui potongan gaji PNS, JAMSOSTEK kurang lebih sama, sedangkan JAMKESMAS tak sepeserpun keluar uang, negara memikul biaya sakit mereka melalui APBN.
Penggolongan ini jalas berimplikasi terhadap layanan, termasuk kelas perawatan, dokter, dan jenis obat yang bisa diakses pasien. Kita mulai dari pasien JAMKESMAS, mereka mendapatkan pelayanan kelas 3, obat-obat dalam formularium JAMKESMAS, dan tak bisa pilih dokter. Bagi pasien ASKES mereka berhak mendapatkan kamar perawatan sesuai golongan pangkatnya, minimal kelas II, obat dari formularium ASKES (yang tentu saja lebih baik dari formularium Jamkesmas) dan berhak memilih dokter. JAMSOSTEK obatnya bebas, asal perusahaannya membayar klaimnya. Pasien UMUM terserah semampu mereka, toh pakai uang mereka sendiri.
Lah, pembagian jenis pasien inilah mungkin yang mendorong pengambil kebijakan menciptakan JKN, mereka bermimpi semua orang lebur dalam satu wadah asuransi. Semudah itukah? apa cacatnya? Check this out...
Cobalah kita pikir logika saja, jika semua golongan itu dileburkan, dengan cara pembiayaan yang berbeda-beda mungkinkah mereka ini mendapatkan standar pelayanan yang sama? Maksud saya, sama baiknya, bukan sama buruknya. Pasti satu golongan akan dirugikan oleh golongan yang lain. Tak bisa dihindarkan.
Masalah pertama adalah pembiayaan. Apakah semua pembiayaan itu akan dibebankan pada negara dan negara secara perkasa memikul semuanya? Jangan mimpi di siang bolong, negara kita tak sekaya yang kau kira (atau mungkin lebih tepatnya tak sebaik yang kau kira). Bisa bangkrut negara mengurusi masalah kesehatan seluruh warga negaranya. Maka JKN lagi-lagi membagi sistem pembiayaannya menjadi 2, BPJS iur dan BPJS non iur.
Peserta yang dulu masuk JAMKESMAS kini jadi anggota BPJS non iur. ASKES, JAMSOSTEK, TNI POLRI menjadi anggota BPJS iur dengan potongan pad gaji mereka. Bagaimana dengan pasien di luar itu/ umum? mereka bisa menjadi anggota BPJS iur dengan menyetorkan premi sesuai dengan kelas pelayanan yang ingin didapatkan.
Dari sini saja sudah terlihat cacatnya sistem ini. tampak jelas sistem peleburan ini hanya bajunya yang ganti, diskriminasi sosial di dalamnya sama persislah dengan sistem sebelumnya, tak ada beda. Bagi masyarakat yang dulunya dengan pembiayaan UMUM tidak dikover pemerintah kecuali jika mereka membayar premi. Ini apa bedanya dengan asuransi swasta? menyoal kualitas pelayanan yang didapatkan bagaimana? Wah bisa semalamam kita membahasnya, kawan. Kedua, pemerintah setengah memaksa warganya untuk ikut BPJS ini, tahun 2018 mereka mentarget semuanya ikut. Ini juga aneh, pertanyaan dasarnya kembali saya ulang "Kesehatan itu hak atau kewajiban warga?". Jika itu hak, maka adalah tugas negara untuk memikul biaya seluruh pelayanan warganya, tak peduli miskin atau kaya, dari kantong kas negara dengan standar pelayanan yang negara bisa mampu membiayainya. Lain hal bila ingin mendapatkan pelayanan lebih, dipersilahkan menambah biaya. Ini Indonesia malah menjadikan kesehatan sebagai kewajiban negara, warga negara dipaksa ikut BPJS kesehatan dari kantong sendiri membayar premi. Logikanya ini gimana? Saya pikir bolak-balik kok saya tidak menemukan logikanya. Intinya saya katakan, seakan negara coba tampil berwajah penyelamat warga dengan asuransi nasional ini, tapi nyatanya pembiayaannya lagi-lagi dari kantong warganya. Ini tipu-tipu jika Anda menyadarinya.
Selanjutnya, bagaimana kualitas obat yang didapatkan BPJS? Saya ilustrasikan saja biar Anda sendiri ambil kesimpulannya. Dulu pasien Jamkesmas mendapatkan obat sesuai dengan onbat yang tertera dalam formularium Jamkesmas, pasien Askes mendapatkan obat sesuai dengan obat yang tertera dalam formularium Askes. Mana yang lebih bagus obatnya? yang bayar tentu mendapatkan yang lebih bagus dari yang gratisan bukan. Kemudian sekarang kedua kelas ini mendapatkan obat yang sama, yang berada dalam formularium obat BPJS. Bila dua kelas digabungkan menjadi satu, maka kemungkinannya adalah apakah kualitas obatnya sama rendahnya atau sama tingginya? Apakah pasien yang dahulunya Jamkesmas akan mendapatkan obat yang dulu sama kualitasnya dalam formularium Askes? ataukah pasien Askes yang turun derajat kualitas obatnya mengikuti pasien Jamkesmas? 
Di negara seperti ini, terlalu riskan jika Anda mempercayai kemungkinan pertama yang terjadi.

Lalu apalagi? 
Bila di tingkat primer sistem pengobatannya adalah kapitasi, maka berbeda dengan di pelayanan rujukan yang menganut sistem pembiayaan PAKET penyakit sesuai INA CBG'S. Hewan apa itu INA CBG'S? Cari sendirilah di google, biar kita sama-sama pintar bareng.
Kata pentingnya adalah PAKET. Itu artinya, klo lo Stroke, paket pengobatan loh sekian rupiah. Klo loh sakit thipus, oleh negara lo akan dibiayai sekian, soal mencret loh mendapat sekian, loh meler ingusan....dilap sendiri aja, jangan bebani negara :)
Masuk akalkah sistem paket semacam ini? Hell NO!! 
Tolong pikir ya pakai otak yang bener, semisal ada orang stroke penyubatan nih misalnya, nggak bisa dong disamaratakan kebutuhan obatnya dan lama perawatannya. Banyak faktor yang membedakan tiap-tiap individu penyakit SNH (stroke non hemorhagik/ stroke penyumbatan) seperti : seberapa luas sumbatannya, usianya (beda dong tingkat kesembuhan pada pasien tua ma yang muda), apakah disertai diabetes, hipertensi, hiperkolesterol...kan beda, atau ada ulcus decubitusnya, kan beda....atau yang satu dengan disfagia (gangguan menelan) yang satu nggak, kan ya beda.....semua dokter tahulah, mustahal menyamaratakan pasien dalam sitem paket semacam itu.
Bagi Rumah sakit, bila billing pasien di bawah jumlah Paket yang dibayar pemerintah maka RS untung. Lalu bagaimana jika billing pasien melebihi PAKET yang dibayar pemerintah, RS merugi. Darimana RS menutupi kerugiannya itu, konon dari Jasa medis dokter dan perawatnya. Implikasinya...?
Maka tak heran, bila dokter era BPJS ini seakan buru-buru memulangkan pasien karena takut billing membludak, pasien ICU buru-buru dikembalikan ke bangsal karena takut billingnya mencaplok Rumah Sakit. 
Ironis???
Ya begitu gambaran awal BPJS yang dibangga-banggakan era kepemimpinan SBY. Saat ini saya jauh dari bangga menatap kenyataan ini. Saya jauh dari optimis menatap masa depan BPJS. Di negara dimana optimisme merupakan barang mahal, riskan bagi saya bermimpi indah tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang benar-benar menjamin warganya, bukannya Meminta Premi baru Menjamin sesuai bayaran preminya.
Adakah skenario intervensi asing di balik semua ini? Apa maksudnya? 
Semoga Allah melindungi warga negara Indonesia dari kedhaliman pemimpinnya.
Amin,...

God Bless Indonesia